Kimia
merupakan salah satu bidang keilmuan dasar pada ilmu pengetahuan alam. Di dalam
ilmu kimia terdapat dasar-dasar keilmuan yang digunakan sebagai landasan
keilmuan lain seperti fisika, nanoteknologi, ilmu material, geologi dan
lain-lain. Kimia mempelajari komposisi, sifat-sifat dan perilaku suatu materi,
baik dari tingkat yang sangat kecil (mikroskopis) maupun tingkat yang besar
(makroskopis).
Salah
satu cabang dalam ilmu kimia adalah ilmu kimia teori. Kimia teori pada umumnya
memberi penjelasan tentang fenomena-fenomena kimia yang terjadi dalam ranah
eksperimen di laboratorium. Contoh yang cukup sederhana adalah fenomena
asam-basa. Di dalam kimia dikenal 3 jenis teori asam-basa. Teori yang pertama
adalah teori Arrhenius. Teori Arrhenius menjelaskan bahwa zat yang bersifat
sebagai asam di dalam air adalah ion H+ dan zat yang bersifat basa
adalah OH-. Seiring perkembangan zaman, terdapat fenomena asam-basa
yang baru, yaitu terdapat suatu zat dapat bersifat basa walaupun zat tersebut
tidak mengandung ion OH-, misalnya senyawa NH3. NH3
bila dilarutkan ke dalam air akan memberikan sifat basa. Dari manakah sifat
basa tersebut berasal? Akhirnya, para ilmuwan menyimpulkan bahwa air (H2O)
dapat bereaksi dengan NH3 menghasilkan ion NH4+
dan ion OH-. Ion OH—lah
yang memberikan sifat basa. Oleh sebab itu, dibuat teori asam basa baru yaitu
Teori Bronsted-Lowry. Teori ini menjelaskan bahwa asam adalah donor (pemberi)
ion H+ sementara basa adalah akseptor (penerima) ion H+.
Berdasarkan teori ini, NH3 bersifat basa. Teori Bronsted-Lowry ini,
meskipun dibuat setelah teori Arrhenius, selalu konsisten dengan teori
Arrhenius dalam hal definisi asam-basa. Pada akhirnya dikembangkan teori
asam-basa yang lebih umum lagi yaitu teori Lewis. Berdasarkan contoh-contoh
tersebut dapat terlihat bahwa kimia teori merupakan cabang yang cukup penting
di dalam ilmu kimia.
Seiring
dengan perkembangan ilmu pengetahuan kimia, kimia teori fokus mempelajari sistem-sistem
kimia pada level atom atau molekul. Hal ini disebabkan karena sifat-sifat
materi pada tingkat atom atau molekul sangat sulit ditentukan melalui
eksperimen di laboratorium sehingga membutuhkan teori yang baik untuk
mempelajari sifat materi pada tingkat atom dan molekul. Selain itu, dengan
mempelajari level atom maupun molekul, kita dapat meramalkan sifat-sifat dari
materi pada tingkat yang lebih besar (makroskopis).
Pada
tingkat mikroskopis, di dalam kimia teori dikenal persamaan Schrodinger.
Persamaan ini merupakan “kotak hitam” pada ranah kimia teori. Dengan
menyelesaikan persamaan ini, semua sifat dari materi tersebut dapat diramalkan
bahkan tanpa melakukan percobaan di laboratorium! Akan tetapi, inilah tantangan
di bidang kimia teori. Persamaan Schrodinger tidak dapat diselesaikan dengan
mudah. Persamaan ini hanya dapat diselesaikan untuk atom hidrogen saja. Untuk
atom dan molekul yang lebih besar dari hidrogen, persamaan ini sangatlah sulit
untuk diselesaikan. Pada akhirnya, untuk menyelesaikan persamaan Schrodinger,
digunakan pendekatan-pendekatan matematis yang cukup rumit serta metode-metode
yang dikenal sebagai metode ab initio.
Metode ab initio yang cukup terkenal
antara lain Hartree-Fock (HF) dan Teori Fungsi Kerapatan (Density Functional Theory, DFT).
Pada
awal-awal perkembangan kimia teori, metode-metode untuk menyelesaikan persamaan
Schrodinger hanya dapat diselesaikan menggunakan kertas dan pensil, tanpa
bantuan alat hitung apapun. Seiring perkembangan zaman dan penemuan komputer,
kemajuan di bidang kimia teori sangat pesat. Perkembangan komputer telah memungkinkan
pengembangan dan aplikasi program komputer untuk menyelesaikan masalah-masalah
kimia teori. Ilmu ini dikenal sebagai kimia komputasi.
Perkembangan
ilmu kimia teori dan komputasi di negara-negara maju cukup pesat. Hampir semua
universitas terkenal memiliki program studi kimia teori maupun kimia komputasi.
Mereka menyadari bahwa kimia teori dan komputasi sangatlah penting, dengan
mempelajari kimia teori mereka dapat menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi
di laboratorium maupun di alam.
Sayangnya,
perkembangan kimia teori di Indonesia tidak cukup berkembang. Dari sekitar 75
universitas di Indonesia yang memiliki program studi kimia, mungkin kurang dari
separuhnya yang memiliki bidang penelitian kimia teori dan komputasi. Publikasi
tentang kimia teori di Indonesia juga sangat kurang dibandingkan dengan
publikasi di bidang eksperimen. Walaupun kimia eksperimen lebih memiliki hasil
nyata, bukan berarti bagian kimia teori dapat ditinggalkan begitu saja. Dengan
melakukan kerjasama yang baik dari bidang kimia eksperimen maupun teori,
diharapkan dapat menghasilkan karya-karya yang cukup baik. Sebagai contoh jika
orang ingin mensintesis suatu bahan, dia seharusnya membutuhkan orang teori
untuk meramalkan hasil sintesis tersebut. Jika hasil peramalan secara teoretis
tidak sesuai dengan harapan, untuk apa dilanjutkan? Sehingga orang yang ingin
melakukan sintesis tersebut dapat mencari misalkan metode atau bahan kimia yang
lain.